TEMPO.CO , Yogyakarta: Lomba itu memancing ratusan lelaki di kampung tersebut baik tua dan muda bergegeas memburu pohon-pohon aren yang tersebar di Hutan Masarang untuk disadap air niranya. Hasil olahan air nira itu lantas dikumpulkan, dinilai, dan dinikmati bersama hingga puas.
Willie Smits, peneliti hutan yang juga pendiri Yayasan Masarang menggagas perlombaan itu. Ia sebenarnya hanya berniat mengumpulkan warga untuk mengajak mereka berbicara dengan lebih persuasif. Pria kelahiran Gelderland, Belanda 22 February 1957 itu ingin mengajak warga setempat fokus membudidayakan aren di kampungnya sebagai jalan menaikkan kesejahteraannya.
Dua tahun kemudian, pada 2004, Yayasan Masarang mendirikan pabrik pengolahan gula Aren Masarang di Tomohon bersama 200 warga. Sekarang 6.000 lebih petani aren telah bekerja untuk pabrik itu.
"Aren, tanaman yang sebenarnya kita butuhkan untuk menyelamatkan diri dari persoalan ketahanan pangan, lingkungan dan juga kesejahteraan," kata Willie saat mengisi sarasehan ''Aren untuk Indonesia'' di Studio Banjarmili, di pingiran Kali Bedog, Banyuraden Gamping, Sleman, Yogyakarta akhir pekan lalu.
Pria yang dijuluki ''Guru Orang Utan'' karena aktivitasnya dalam penyelematan orang utan di Kalimantan itu mengatakan tradisi tanam Aren di Jawa telah lama kalah dibandingkan padi, tebu, dan jagung. Padahal padi dan sejenisnya itu malah mencekik petani.
Sebab, padi juga jagung dan selama ini sangat tergantung pada banyak kebutuhan yang membuat kantong petani terus terkuras. Mulai pupuk urea, pestisida, hingga air yang cukup untuk hidup. "Tanah yang dipakai menanam kian rusak dan kualitasnya memburuk. Air tanah semakin tak sehat," kata pria yang fasih berbahasa Indonesia itu.
Dominasi wacana penanaman padi dan pemanfaatan lahan secara monokultur yang digulirkan pemerintah terus menerus ikut tidak memberi ruang bagi tanaman alternatif lain, seperti Aren untuk tumbuh. Perlakuan pada Aren di Jawa sekedarnya. Hanya diambil buahnya untuk kolang-kaling atau dipakai kayunya untuk pengapian tradisonal.
"Pengambilan kolang-kaling yang menjadi tradisi di Jawa, membuat Jawa pun tak punya bibit Aren unggul, semuanya tumbuh kerdil dan menghasilkan nira yang tak lebih 10 liter perpohon," kata dia. Sedang di Tomohon, satu pohon aren, bisa memproduksi 30-60 liter per pohon.
Dari penelitian yang dilakukan, 30 liter nira itu mampu dipakai untuk membuat gula Aren sebanyak 3 kilogram. Padahal, harga per kilogram satu gula aren saat ini sekitar Rp 16 ribu. Jadi, satu pohon aren yang bisa disadap sebanyak 600 kali itu miminal menghasilkan Rp 50 ribu atau Rp 3 juta untuk niranya saja.
"Tapi di Jawa, Aren dijual pohonnya hanya dengan harga Rp 200 ribu. Sedangkan di Tomohon yang dijual hak menyadapnya, sekitar Rp1-3 juta perpohon," kata Smits.
Ia mengungkapkan, saat Aren ditebang atau dibuang, sebenarnya orang tak hanya kehilangan banyak uang. Tapi juga kehilangan tameng bumi mereka dari bencana kesuburan tanah juga bencana alam, seperti longor dan kekeringan.
Dari uji coba Yayasan Masarang di tebing dan lereng gunung Masarang yang ditanami Aren seluas 500 hektar sejak 2004 silam, lahan tandus itu kini memiliki banyak sumber mata air. Selain menjadikan kawasan jadi layak ditinggali karena ukup air dan bebas longsor, konservasi itu juga berhasil menghidupkan sungai hutan Masarang yang telah hilang 50 tahun silam.
PRIBADI WICAKSONO
Terpopuler:
Takmir Masjid Dukung Rhoma Irama Jadi Presiden
Megawati-Jusuf Kalla Akrab di Kondangan
Budayawan Nilai Cium Tangan Sutan Berbau Politis
Polisi Boleh Melawan Atasan yang Mengajak Korupsi
Ketemu Megawati, Kalla Belum Bicara Soal ''Itu''
Sutan Bhatoegana: Assalamualaikum, Bu Mega
Dua Hakim Pembebas Misbakhun Segera Diperiksa
Mahasiswa UNAIR Raih Rekor MURI di Hari AIDS
03 Dec, 2012
-
Source: http://www.tempo.co/read/news/2012/12/03/206445460/Menyelamatkan-Jawa-dengan-Aren
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.